Warung Bebas

Senin, 27 Desember 2010

Bencana 26

Tanggal 26 sepertinya identik dengan bencana terhadap negeri ini.... Entah ada kaitannya atau tidak, banyak orang sering mengaitkan sesuatu hal dengan mitos atau kepercayaan lainnya... Inilah ciri khas kita yang tidak bisa kita bohongi.... Hm....

Yang terbaru timnas dicukur gundul oleh Harimau Malaya di Stadion Bukit Jalil, Malaysia... Indonesia bertekuk lutut tanpa daya di tangan Malaysia.... Skor 3-0 menjadi kekalahan pertama yang merusak jalan mulus timnas sejak babak penyisihan... Kekalahan satu-satunya ini menjadi titik antiklimaks? Entah...

Banyak hal yang harus dibenahi.. Mental pemain masih labil... Gampang goyah oleh sesuatu hal teknis dan nonteknis.... Sinar laser yang menjadi alibi kekalahan timnas menutupi kegalauan saya akan pemainan timnas yang tampak tak terkoordinasi dengan rapi seperti babak penyisihan... Selain para elit politik yang berebut andil dan simpati atas keberhasilan timnas dan agenda aneh-aneh PSSI itu...

Ya... Kita harus akui, Indonesia masih jago kandang.... Bermain di kandang lawan kita tidak ada apa-apanya... Mental, permainan turun drastis...

Walhasil, Malaysia mampu mencuri momentum terlebih setelah konsentrasi pemain Indonesia buyar akibat serangan sinar laser yang dilakukan oleh para suporter Malaysia..... Tiga gol bersarang dalam kurun waktu kurang dari seperempat jam.... Gol-gol yang nyaris mengubur impian timnas selama 14 tahun untuk menjadi juara se-ASEAN.

Semua belum usai... Masih ada 90 menit lagi.... Buktikan kepakan Garuda mampu membuat timnas terbang tinggi... Menghancurkan tim Malaysia, dengan sportif tentunya...

Amin.

Selasa, 21 Desember 2010

zebra cross yang bukan kuda...

jembatan pada galibnya berfungsi untuk menyeberang. umumnya dipasang di atas sungai yang lebar maupun yang tidak terlalu lebar. namun, di jakarta, dan beberapa kota lain ada jembatan yang tanpa sungai di bawahnya. dan, ini tetap disebut jembatan dengan embel-embel penyeberangan. di depok, satu-satunya jembatan penyeberangan yang ada harus mengalah dengan pelebaran jalan. alhasil, saya sebagai salah satu penyeberang jalan harus rebutan dengan mobil dan motor ketika akan menyeberangi jalan margonda yang lebar itu.

alternatif pengganti jembatan penyeberangan adalah zebra cross. anda pasti sudah 'ngeh' dengan garis-garis putih yang mirip kuda zebra itu. menurut wiki:
After isolated experiments, the zebra crossing was first used at 1000 sites in the UK in 1949 in its original form of alternating strips of blue and yellow, and a 1951 measure introduced them into law. In 1971, the Green Cross Code was introduced to teach children safer crossing habits, replacing the earlier "kerb drill".

In the United Kingdom the crossing is marked with Belisha beacons, flashing amber globes on black and white posts on each side of the road, named after Leslie Hore-Belisha, the Minister of Transport, who introduced them in 1934. The crossings were originally marked by beacons and parallel rows of studs, and the stripes were soon added for visibility.
jadi usianya belum terlalu lama yah.

namun, sayangnya, tidak semua jalan mempunyai zebra cross. kalaupun ada kadang garisnya sudah samar-samar atau hilang sama sekali. saya juga bingung dengan perilaku para pengendara motor atawa mobil yang seperti tidak peduli dengan para penyeberang jalan. padahal jelas-jelas ada aturannya. kalau pejalan kaki sudah menginjakan kaki di zebra cross, maka kendaraan harus berhenti memberi jalan pejalan kaki lebih dahulu.

peraturan tinggal peraturan. atau coba perhatikan gambar di samping ini. entah siapa yang salah. tapi, seingat saya, zebra cross sudah ada lebih dahulu. baru kemudian dinas pertanaman (?) menaruh pot, yang maksudnya barangkali untuk memperindah jalan. namun, malah jadi penghalang bagi mereka yang menyeberang...

Senin, 13 Desember 2010

bawa bekal sendiri, ih...

bekerja di kantor yang dekat dengan aneka penjual makanan, tidak selalu memudahkan saya untuk memilih menu makan siang. kadang dalam seminggu kerja, perputaran menu ya balik ke itu-itu lagi. kalau tidak padang, ya betawi atau soto mi, tongseng, nasi goreng kambing dan ayam bakar, gado-gado. malahan sekarang alternatif menu berkurang dengan digusurnya amigos.

apa tidak ada alternatif lain? tentu saja ada: bawa dari rumah! what? bawa bekal makan siang dari rumah? lucu ah. kayak ibu-ibu aja. (sejatinya, ada beberapa teman yang membawa bekal. ada yang karena sedang masa pemulihan setelah sakit sehingga harus makan makanan rumah. atau dengan alasan lainnya.) tawaran ini datang dari istri saya. suatu siang, kami cit-cet, ngobrol macam-macam sampai urusan makan siang. "ayah makan siangnya apa?" tanya istri saya. lagi pengin makan yang berkuah makanya beli itu nama makanan sengaja tidak disebut untuk menghindarkan cap yang tidak-tidak :D. lanjut istri saya: "yah, kok makan itu sih. itu kan gini-gitu." ah, gak kok yang ini kelihatannya gak aneh-aneh, saya berusaha mengelak. tambahnya: "kapan ya ayah bisa bawa makan siang dari rumah?" kapan ibu bisa siapin aja. "kalo gitu, gimana kalo mulai besok?" oke, jawab saya.

duh, kebayang deh. bakalan ribet bawa-bawannya. harus beli tempat makan khusus pula. ah, lebay deh. kalau pengin keren memang bekal dibawa dengan ompreng khusus yang harganya tidak murah itu. daripada buang-buang uang, sayapun memilih menggunakan ompreng yang ada. ompreng yang suka dipergunakan nanda saat ia masih di sd. ompreng untuk nasi. dan, lauk-pauk? cukup dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. sederhana. gak pakai repot juga. tinggal dimasukkan ke dalam backpack, selesai, beres.

apa sih untungnya bawa bekal? salah satunya adalah tak perlu bingung mikirin menu makan siang. kebersihan makanan pastinya terjamin dong. tak pakai penyedap rasa pula. nasinya pun nasi merah (dicampur dengan nasi putih sebenarnya sih agar tak terlalu keras). empat sehat lima sempurna :D dan, uang makan siang bisa dialokasikan untuk yang lain, semisal beli camilan, gak deng.

tapi, di sisi lain, dengan membawa bekal, istri saya harus bangun lebih awal untuk menyiapkan semuanya. jatah istirahatnya, mau tak mau, dikonversi ke siang hari. bagaimanapun istri saya tetap memerlukan ruang untuk dirinya sendiri. apakah dengan berinternet (yang kadang, hasilnya guglingnya, semisal resep kue, juga untuk saya dan nanda) atau kegiatan yang lain. jazakillah, barakalah ya bu.

Minggu, 05 Desember 2010

mampuslah kau penumpang!

mencermati bahasa indonesia memang mengasyikkan. bila anda membaca judul postingan ini, tentu bukanlah sumpah serapah agar para penumpang mampus. alih-alih demikian, pak mulyo berusaha menerangkan asal mula mengapa penumpang angkutan umum disebut sebagai 'sewa' ketimbang ketimbang dibilang penumpang. lucu juga bila melihat sejarahnya...
MULYO SUNYOTO
Matinya Penumpang
Kompas, Jumat, 3 Desember 2010

Sebuah bus pengangkutan umum berjalan perlahan keluar dari Terminal Kampung Rambutan Jakarta. Di belakang kendaraan itu, dalam jarak sepelempar, seseorang bergegas mengejar bus. Sopir tak menghentikan kendaraannya. Kenek melihat gelagat orang itu lewat kaca spion. Kepada sopir, sang kenek berteriak, ”Ada sewa, ada sewa.”

Sewa, bukan penumpang. Sopir dan kenek kendaraan pengangkutan umum di Jakarta seolah tabu menggunakan kata penumpang menyebut 'orang yang naik kendaraan umum'. Sejak kapan dan mengapa para awak kendaraan umum di Jakarta memilih sewa dan menampik penumpang? Saya tak tahu. Yang pasti, di Sumatera Utara hal itu kaprah belaka.

Namun, saya punya hipotesis mengapa mereka menyingkirkan penumpang dari perbendaharaan bahasa mereka. Di tahun 1980 saya pertama kali menginjak Jakarta. Dua hari saya berpelesir di atas bus kota, yang saat itu populer sebagai bus PPD. Maksudnya, Perusahaan Pengangkutan Djakarta. Dengan tarif Rp 50 sekali naik, sepanjang perjalanan Cililitan-Lapangan Banteng saya manjakan mata mengamat-amati lanskap ibu kota. Hari kedua saya melanglang di atas roda PPD dengan rute lain.

Sebagai pelajar SMA di kota kecil, 1.000 kilometer dari arah timur Jakarta, saya terperangah bukan oleh pemandangan di luar, tapi kejadian di dalam bus! Beberapa kali peristiwa itu berlangsung. Anak-anak SMA menghentikan bus. Mereka naik. Kondektur minta ongkos. Dengan nada datar mereka membalas, ”Numpang, Bang.” Yang disapa Bang melengos dengan muka kecut. Dalam sehari, sepekan, sebulan, setahun, berapa kali para kondektur mendengar kosakata yang masam ini? Itu sebabnya mereka membalas dendam: tak sudi mengucapkan kata itu beserta turunannya. Mampuslah kau penumpang!

Meski bukan linguis, mereka jitu tatkala menemukan sewa sebagai alternatif. Maksud mereka tentulah penyewa. Urusan keringkasan dengan melesapkan awalan, buat mereka, lebih utama ketimbang formalisme linguistik, yang memilah kata dalam kelas-kelas. Bukankah rampok sudah halal dipadankan dengan perampok, meski rompak terasa haram disepantarkan dengan perompak?

Kamus-kamus memaknai sewa sebagai 'pemakaian sesuatu dengan membayar uang'. Frasa kuncinya: membayar dengan uang. Itu berlainan arti dengan tumpang yang menurunkan (me)numpang dan penumpang. Makna tumpang: 'turut, ikut serta, membonceng'. Lazimnya orang yang turut, ikut serta, atau membonceng tak diwajibkan membayar dengan uang.

Kini perkara sewa beralih ke pundak pekamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Pusat Bahasa dan Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko belum menambahkan arti sewa sebagaimana dimaksud para penggunanya. Kalau jumlah kendaraan pengangkutan umum di Jakarta ratusan ribu, sedikitnya ada lebih dari angka itu pengucap kosakata sewa. Sopir, kenek, calo, timer (nah, mereka menciptakan satu lagi makna baru untuk alat pengukur waktu) di ibu kota pastilah pernah mengucapkan sewa untuk arti yang Inggrisnya adalah passenger.

Penggusur penumpang tampaknya tak cuma awak kendaraan umum darat, pramugari maskapai penerbangan swata pun menyapa ”bapak dan ibu terhormat” alih-alih ”penumpang terhormat” saat hendak memeragakan penggunaan perlengkapan keselamatan sebelum pesawat tinggal landas. Bagaimana dengan awak kapal laut? Cepat atau lambat mereka pun sepakat menolak kehadiran penumpang yang hanya bikin perusahaan merugi kalau bukan bangkrut. Penumpang akhirnya terkubur setelah disingkirkan dari matra darat, udara, dan laut. RIP for penumpang.

Mulyo Sunyoto Magister dalam Linguistik
 

Ganator Blog's Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger