Warung Bebas

Jumat, 27 April 2012

BBM (Benar Benar Membingungkan)


Saat ini rakyat Indonesia sedang sibuk membahas topik hangat. BBM. Eits, bukan BBM Blackberry Messenger... Ya! BBM adalah singkatan dari Bahan Bakar Minyak. Namun, juga bisa diartikan benar-benar membingungkan.

Hm.. Bila kita melihat kebijakan pemerintah terhadap satu hal bernama BBM ini memang benar-benar membuat bingung rakyat. Kenaikan harga BBM sudah diputuskan untuk ditunda, bukan dibatalkan. Ini membuat pemerintah bingung menentukan opsi kebijakan untuk 'menyelamatkan' perekonomian negara.

BBM memang benar-benar vital. Ia menjadi sumber energi dalam peningkatan perekonomian. Suplay BBM secara langsung berpengaruh kepada arus barang dan jasa yang berimplikasi pada kesejahteraan dan keberlangsungan hidup rakyat.

BBM belum naik saja harga barang-barang kebutuhan masyarakat sudah melonjak duluan... Dan tidak bisa turun lagi. Kasihan jika melihat rakyat ekonomi lemah bila harga terus melonjak tanpa ada kesempatan rakyat untuk meningkatkan perekonomian mereka.

Baru-baru ini muncul wacana pembatasan BBM untuk mobil bersilinder tertentu. Wah.. Repot lagi. Bagaimana coba mengeksekusi kebijakan ini di lapangan nanti. Tentunya akan sangat sulit untuk memilah kendaraan berdasarkan silinder.....

Rakyat pun makin antipati pada pemerintahan, melihat bagaimana korupsi merajalela dan tumbuh subur merata dan tersebar di seluruh lini pemerintahan mulai desa sampai istana..... Terlebih kebijakan BBM yang tidak populis makin mengerek turun tingkat kepercayaan rakyat pada pemerintah untuk mengusahakan peningkatan kesejahteraan mereka....

BBM oh BBM.. Benar-benar membingungkan, benar-benar memusingkan....

Selasa, 24 April 2012

mau jadi gula pasir atau sirop....

sudah merasa berjasa tapi kok dilupakan. jadi, sakit hati dong rasanya :D padahal, tak perlu kan seperti itu. tak perlulah gembar-gembor atas apa yang dikerjakan. toh, pada akhirnya orang juga akan tahu...
Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirop.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan 'kopi gula pasir'. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.

Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirop.

Dari segi eksistensi, sirop tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirop." Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirop mangga, es sirop lemon, kokopandan, " dan seterusnya.

Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirop, "Andai aku seperti kamu."

**

Sosok gula pasir dan sirop merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.

Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirop dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirop!" (MN/Eramuslim)

Kamis, 05 April 2012

minta tempe jadilah tempe...

kita sering memaksa gusti Allah untuk memberikan apa yang menurut kita paling cocok. ketika permintaan kita tidak dikabulkan, kitapun kecewa berat. galau. padahal hanya gusti Allah yang paling tahu apa yang kita butuhkan...
Di Karangayu, Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.”Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya…” demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.

Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti tidak akan mendapatkan uang untuk makan dan modal membeli kedelai yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe.

Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut. Keajaiban Tuhan akan datang… pasti, yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang telah jadi tempe!” batinnya.

Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, air mata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu.

Dan dia tiba-tiba merasa lapar…merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku,

batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak.

Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat…

Tiba-tiba sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya? Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat.

Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menengadahkan tangan. Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe…

Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe…

Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi? tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi!

“Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”

Ooh, bukan begitu, Bu. Anak saya yang kuliah di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?

Kisah yang biasa bukan, dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa dan “memaksakan” Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan, jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sangat sempurna.

Kisah sederhana yang menarik, karena seringkali kita pun mengalami hal yang serupa. Di saat kita tidak memahami ada hikmah di balik semua skenario yang Allah SWT takdirkan.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah 216)
 

Ganator Blog's Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger