suatu hari di kantor baru. sebagai anak baru, meski teman ada, teteup aja rasanya asing juga dengan suasana baru. kerjaan biasanya juga belum banyak. yah, gitu deh, banyakan bengongnya.
saat makan siang tiba, bingung juga mau makan di mana. karena belum kenal dengan situasinya. lagi mikir makan apa dan di mana, eh, ada yang nanya: 'gak makan pak,' dalam hati, ya makan dong. tapi demi kesopanan dan basa-basi jawabnya: belum pak, sebentar lagi. sambil bertanya juga: 'makan di mana ya?' itu di depan kan, kan ada tukang soto ayam. jadilah, siang itu makan siang perdana adalah soto ayam.
tapi, itu adalah cerita dulu. minggu lalu, saat kembali masuk kantor, bukan hanya tukang soto ayam itu yang tidak ada lagi. semua, ya semua, tenda pedagang makanan di emperan kantor itu yang sudah puluhan tahun berdiri, kini bersih-sih-sih dan menyisakan lahan yang kelihatan kumuh. atas nama keindahan kota pedagang soto mie, gado-gado, rombong rokok, mi instan dan amigos yang menyediakan aneka masakan harus tutup. tak boleh lagi beroperasi.
alhamdulillah, gerobak maupun peralatan berniaga milik para pedagang itu tidak lantas ikut disita satpol pp yang 'bersih-bersih' menjelang takbiran kemarin. masih ada yang berbaik hati untuk menyelamatkannya. lantas ke manakah mereka? tukang soto mie yang bergerobak tinggal pindah lokasi. sementara yang lain tinggal gigit jari. salahkah mereka? di mata para penguasa jelas mereka salah: merusak keindahan. membuat lingkungan menjadi kumuh. dan seabreg kesalahan lain bisa ditimpakan ke para pedagang.
pernahkah para 'pembersih' -- yang kadang makan juga di situ -- dan yang menyuruh 'pembersih' melakukan pembersihan berpikir bahwa para pedagang itu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya? tak adakah solusi lain seperti mengingatkan mereka untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan? konon kabarnya, mereka akan dilarang selamanya untuk berjualan di situ. tapi kabar lain mengatakan ini hanya larangan sesaat.
akhirnya, sesaat atau tidak, yang pasti 'orang-orang kecil' ini harus mengalah. mereka kehilangan mata pencaharian. dan, para konsumen kehilangan tempat makan.
saat makan siang tiba, bingung juga mau makan di mana. karena belum kenal dengan situasinya. lagi mikir makan apa dan di mana, eh, ada yang nanya: 'gak makan pak,' dalam hati, ya makan dong. tapi demi kesopanan dan basa-basi jawabnya: belum pak, sebentar lagi. sambil bertanya juga: 'makan di mana ya?' itu di depan kan, kan ada tukang soto ayam. jadilah, siang itu makan siang perdana adalah soto ayam.
tapi, itu adalah cerita dulu. minggu lalu, saat kembali masuk kantor, bukan hanya tukang soto ayam itu yang tidak ada lagi. semua, ya semua, tenda pedagang makanan di emperan kantor itu yang sudah puluhan tahun berdiri, kini bersih-sih-sih dan menyisakan lahan yang kelihatan kumuh. atas nama keindahan kota pedagang soto mie, gado-gado, rombong rokok, mi instan dan amigos yang menyediakan aneka masakan harus tutup. tak boleh lagi beroperasi.
alhamdulillah, gerobak maupun peralatan berniaga milik para pedagang itu tidak lantas ikut disita satpol pp yang 'bersih-bersih' menjelang takbiran kemarin. masih ada yang berbaik hati untuk menyelamatkannya. lantas ke manakah mereka? tukang soto mie yang bergerobak tinggal pindah lokasi. sementara yang lain tinggal gigit jari. salahkah mereka? di mata para penguasa jelas mereka salah: merusak keindahan. membuat lingkungan menjadi kumuh. dan seabreg kesalahan lain bisa ditimpakan ke para pedagang.
pernahkah para 'pembersih' -- yang kadang makan juga di situ -- dan yang menyuruh 'pembersih' melakukan pembersihan berpikir bahwa para pedagang itu mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya? tak adakah solusi lain seperti mengingatkan mereka untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan? konon kabarnya, mereka akan dilarang selamanya untuk berjualan di situ. tapi kabar lain mengatakan ini hanya larangan sesaat.
akhirnya, sesaat atau tidak, yang pasti 'orang-orang kecil' ini harus mengalah. mereka kehilangan mata pencaharian. dan, para konsumen kehilangan tempat makan.