sejak sabtu kemarin (empat februari duaribu enam) di provinsi daerah khusus ibukota
senang rasanya membaca berita itu. terbayanglah di pelupuk mata mal yang bebas asap rokok sehingga bisa bernafas lega. kendaraan umum yang tak lagi bau rokok. rumah sakit atau puskesmas yang hanya bau obat-obatan. dan lain sebagainya. namun, saudara-saudariku sekalian, simpanlah dulu rasa senang itu. sebab kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan bunyi pasal-pasal peraturan yang diteken pak gubernur.
hari senin dan selasa yang saya temukan dengan tenangnya pak supir menghisap dan mengepulkan asap rokoknya. belum lagi penumpang yang juga tanpa rasa bersalah ikut membakar rokoknya. tapi ada juga penumpang lain yang langsung menegur si perokok dan alhamdulillah ia langsung mematikannya. kesadaran untuk diri sendiri (jangan berpikir untuk orang lain dululah, kata teman saya) begitu sukar dibangkitkan. sehat untuk diri sendiri tidak menjadi prioritas.
saya punya pengalaman lain dengan asap yang satu ini. waktu itu saya harus menunggu ibunya nanda di sebuah rumah sakit bersalin. saat itu saya masih menjadi perokok. untuk membunuh waktu saya merokok di bangku taman. tak ada orang lain. tak lama datang pasangan muda yang istrinya sedang hamil. sayapun menjauh dari mereka. namun tak lama mereka duduk, sang suami dengan santainya mulai merokok.
kali lain saat melaju di jalan bebas hambatan. di depan kami ada mobil tanki yang membawa elpiji. spontan kami mematikan rokok. tapi ketika mobil itu kami lewati, kami saksikan si sopir dengan santainya merokok. padahal jelas-jelas tertempel sticker ‘dilarang merokok’.