waktu seumuran murid sekolah dasar, saya sering diajak nenek atau bude menemaninya berbelanja ke pasar tradisional. dahulu, sih, senang-senang saja karena sebagai imbalannya saya mendapatkan getuk. (dapat getuk aja sudah senang ya. tapi, apa iya nanda, di era internet sekarang ini, cukup diiming-iming-i getuk? :d)
nah, sebelum lebaran kemarin, saya menemani istri berbelanja. ke pasar tradisional juga meski bangunannya sudah modern. namun, di basmant (:d meminjam istilah yang dipakai 'surya segar') tetap saja sama seperti dahulu kala. saat masuk di bagian luar masih kering lantainya. tapi semakin ke dalam yang ditemui adalah becek, padat, pengap, aroma segala macam dan sebagainya.
dahulu kala itu, saya tak memperhatikan apa yang dilakukan nenek atau bude. tugas saya adalah mengikuti mereka dari belakang. membawakan keranjang. memasukkan belanjaan. selesai semuanya ya pulang ke rumah.
saat kemarin itu, saya mau tak mau memperhatikan semuanya. saya tetap berjalan di belakang. karena memang isteri saya yang bernegosiasi alias tawar-menawar dengan pedagang. menjelang lebaran membuat pedagang membuka harga 'sesuka hati'. dengan kata lain, kalau mau beli ya silakan, kalau tidak pun tak menjadi soal. calon pembeli lain toh sudah mengantre.
di tengah kepengapan dan segala 'wewangian' (sayur-mayur, daging sapi, ikan, ayam dan segala macam), para wanita (termasuk bundanya nanda) asyik saja tawar-tawaran. sementara saya (dan para lelaki lain, sepertinya) ingin cepat-cepat selesai. tapi, tentu saja saya tidak mungkin memaksa isteri saya untuk bersegera menyelesaikan berbelanja. maka, saya pun, harus menikmati ritual ini.
seni berbelanja di pasar tradisional ini nampaknya dinikmati para ibu. di sini mereka dapat menemukan barang-barang dalam keadaan segar. semisal, ayam yang langsung dikuliti ketika sudah dipilih. sayur-mayur pun kelihatan mana yang segar ataupun sudah layu. begitu pula dengan daging sapi.
selain itu, dibutuhkan juga keluwesan dalam menawar. apalagi dalam suasana puasa seperti kemarin itu, salah bicara sedikit bisa 'ruksak' suasana. seperti, seorang ibu yang merasa pilihan buahnya ditukar sang pedagang. mereka sempat saling adu leher urat. sampai-sampai si tukang buah dengan entengnya, tapi bermuka marah, mengatakan: 'dasar buta! ditukar dimana. buahnya itu-itu juga kok' dengan logat daerah jawa-timuran yang kental.
ah, pasar tradisional. dapatkah ia bertahan dari gempuran aneka pasar modern yang modalnya bukan cuma besar tapi dari negara luar itu?
nah, sebelum lebaran kemarin, saya menemani istri berbelanja. ke pasar tradisional juga meski bangunannya sudah modern. namun, di basmant (:d meminjam istilah yang dipakai 'surya segar') tetap saja sama seperti dahulu kala. saat masuk di bagian luar masih kering lantainya. tapi semakin ke dalam yang ditemui adalah becek, padat, pengap, aroma segala macam dan sebagainya.
dahulu kala itu, saya tak memperhatikan apa yang dilakukan nenek atau bude. tugas saya adalah mengikuti mereka dari belakang. membawakan keranjang. memasukkan belanjaan. selesai semuanya ya pulang ke rumah.
saat kemarin itu, saya mau tak mau memperhatikan semuanya. saya tetap berjalan di belakang. karena memang isteri saya yang bernegosiasi alias tawar-menawar dengan pedagang. menjelang lebaran membuat pedagang membuka harga 'sesuka hati'. dengan kata lain, kalau mau beli ya silakan, kalau tidak pun tak menjadi soal. calon pembeli lain toh sudah mengantre.
di tengah kepengapan dan segala 'wewangian' (sayur-mayur, daging sapi, ikan, ayam dan segala macam), para wanita (termasuk bundanya nanda) asyik saja tawar-tawaran. sementara saya (dan para lelaki lain, sepertinya) ingin cepat-cepat selesai. tapi, tentu saja saya tidak mungkin memaksa isteri saya untuk bersegera menyelesaikan berbelanja. maka, saya pun, harus menikmati ritual ini.
seni berbelanja di pasar tradisional ini nampaknya dinikmati para ibu. di sini mereka dapat menemukan barang-barang dalam keadaan segar. semisal, ayam yang langsung dikuliti ketika sudah dipilih. sayur-mayur pun kelihatan mana yang segar ataupun sudah layu. begitu pula dengan daging sapi.
selain itu, dibutuhkan juga keluwesan dalam menawar. apalagi dalam suasana puasa seperti kemarin itu, salah bicara sedikit bisa 'ruksak' suasana. seperti, seorang ibu yang merasa pilihan buahnya ditukar sang pedagang. mereka sempat saling adu leher urat. sampai-sampai si tukang buah dengan entengnya, tapi bermuka marah, mengatakan: 'dasar buta! ditukar dimana. buahnya itu-itu juga kok' dengan logat daerah jawa-timuran yang kental.
ah, pasar tradisional. dapatkah ia bertahan dari gempuran aneka pasar modern yang modalnya bukan cuma besar tapi dari negara luar itu?