sedikit demi sedikit jadilah bukit.
kuno lah yah...
“itu sih peribahasa jaman dulu. sekarang sih gak berlaku lagi mas,” ujar teman saya seraya meledek. dalam hati saya bergumam, mungkin jaman sudah demikian berubah sehingga peribahasan pun harus disesuaikan dengan eranya.
lantas mengapa saya masih menggunakan si kuno itu? ceritanya adalah begini. jumat kemarin dalam perjalanan ke kantor saya – seperti biasa menggunakan jasa angkutan umum – kembali menyaksikan seorang pengamen sedang beraksi. selesai lagu yang dinyanyikan ia pun menyodorkan kantong plastik bekas permen kepada para penumpang. saya tidak mendapatkan sodorannya karena (mungkin) ia tahu saya naik belakangan daripada ia.
tidak seperti pengamen lainnya, barangkali juga karena saat itu metro mini agak kosong, ia duduk di kursi di depan saya. ia pun mulai menghitung uang yang didapatnya. logam demi logam rupiah dihitungnya. sampai pada sekeping logam tanpa ragu ia membuangnya. ya, tanpa ragu-ragu ia melempar kepingan uang itu.
antara percaya dan tidak, saya memandang ke arah si pengamen. mata kami bersirobok. nampak ada kilatan pesan menantang: mau apa lu? duit ya duit gua. tapi mata saya tak surut melihat. bukan menantang. saya hanya heran campur kagum. sudah tak berhargakah keping uang logam yang dilemparnya?
memang uang yang dibuangnya hanya seratus rupiah. tapi buat saya ia tetap berharga. karena saat berbelanja di warung harganya masih berbilang ratusan. saya pun selalu menyimpannya bila mendapat kembalian logam seratusan. saat berbelanja saya akan membawanya serta. ibu warungpun dengan senang hati menerimanya.
jaman berubah? si pengamen yang berpandangan moderen? atau ikutan pasar swalayan yang menggantikan uang kembalian dengan permen?
Senin, 19 Juni 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)