di dekat kali mulia-depok, ada resto makanan laut yang sambil menunggu pesanan datang kita disuguhi kedele. sekali waktu, saat kami berkunjung, kedele rebus yang disajikan. di lain kali, kedele goreng yang menemani.bagi yang tidak biasa rasa penganan kecil ini aneh. bagi yang sudah biasa, rasanya malah nganeni. tapi, saya dengar-dengar dari teman-teman yang berkunjung ke sana, resto waktu itu, memelihara anak beruang ini tidak lagi menyediakan kedele. entah karena banyak konsumen yang tidak suka atau alasan lain.
namun, lepas dari alasan apapun, hari-hari ini kedele sedang naik daun. menurut ini: "ratusan pembuat tahu dan tempe berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, untuk mengadukan mahalnya harga kedelai sebagai bahan baku utama tempe dan tahu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono."
Logikanya kalau bahan bakunya sudah mahal, otomatis bahan jadinya alias tempe atau tahu ya mahal juga. kalau harganya mahal otomatis juga yang mampu beli hanya mereka yang berkantung tebal. tapi, boleh jadi, pemilik kantung ini adalah konsumen minoritas alias sesekali membeli. atau kalaupun membeli, mungkin, untuk para helperalias pembantunya.
konsumen mayoritas pembeli tempe adalah kelas bawah yang daya belinya tidaklah tinggi. kalau sudah begini, produsen tempe tidak mampu memproduksi tempe. sementara kalaupun diproduksi harganya jadi mahal dan mayoritas konsumen tempe tidak mampu membelinya. tidak berlaku lagi apa kata onghokham "dengan adanya tempe dan kandungan gizi yang dimilikinya, serta harga yang sangat terjangkau, menyelamatkan masyarakat miskin dari malagizi (malnutrition)."
dan, ini menjadi pelengkap konsumen kelas bawah yang harus antre untuk membeli minyak tanah. ah, kayaknya gak ada hubungannya ya.
namun, lepas dari alasan apapun, hari-hari ini kedele sedang naik daun. menurut ini: "ratusan pembuat tahu dan tempe berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, untuk mengadukan mahalnya harga kedelai sebagai bahan baku utama tempe dan tahu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono."
Logikanya kalau bahan bakunya sudah mahal, otomatis bahan jadinya alias tempe atau tahu ya mahal juga. kalau harganya mahal otomatis juga yang mampu beli hanya mereka yang berkantung tebal. tapi, boleh jadi, pemilik kantung ini adalah konsumen minoritas alias sesekali membeli. atau kalaupun membeli, mungkin, untuk para helper
konsumen mayoritas pembeli tempe adalah kelas bawah yang daya belinya tidaklah tinggi. kalau sudah begini, produsen tempe tidak mampu memproduksi tempe. sementara kalaupun diproduksi harganya jadi mahal dan mayoritas konsumen tempe tidak mampu membelinya. tidak berlaku lagi apa kata onghokham "dengan adanya tempe dan kandungan gizi yang dimilikinya, serta harga yang sangat terjangkau, menyelamatkan masyarakat miskin dari malagizi (malnutrition)."
dan, ini menjadi pelengkap konsumen kelas bawah yang harus antre untuk membeli minyak tanah. ah, kayaknya gak ada hubungannya ya.