awal februari 2007, tujuhpuluh persen wilayah jakarta yang notabene merupakan wajah negara republik indonesia digenangi air mulai dari setinggi mata kaki hingga melewati atap rumah. air dengan leluasa memasuki semua kawasan. mulai dari bantaran kali hingga perumahan elit kelas atas. tak ada yang mampu menahan serbuan air.
dan, seperti biasa, lagu lama berkumandang kembali: para petinggi saling mengeluarkan jari telunjuk bahwa ini adalah kesalahan pihak sana dan situ bukan kesalahan saya; bahwa ini adalah fenomena alam; bahwa ini adalah bla, bla, bla... alhamdulillah, banjir telah mulai surut meski sekarang diikuti dengan merebaknya dbd.
sementara di jakarta ’kelebihan’ air, depok malah kekurangan air bersih karena pipa pdam bogor diterjang banjir. jadilah ini ’bencana nasional’ bagi depok dan sekitarnya. bingung, resah, marah, kesal dan aneka perasaan tak enak bergabung menjadi satu. dan, yang langsung terkena dampak matinya air ini adalah para ibu. demikian eratnya hubungan kaum wanita dengan air ya. sudah terbayang pakaian kotor yang menumpuk, piring dan gelas bekas dipakai dan lain sebagainya.
di kompleks perumahan saya meski tidak terjadi kehebohan, matinya air jelas merepotkan. untungnya, alhamdulillah, kejadiannya hari minggu jadi bapak-bapak masih ikut berperanserta mencari solusi. tapi, pada akhirnya kaum ibu juga yang memegang peranan penting. hasil negosiasi dengan pemilik sumur yang mempunyai pompa listrik membuahkan hasil nyata. tahu-tahu selang plastik sambung-menyambung masuk ke dalam rumah.
alhamdulillah, di tengah-tengah kebingungan masih ada yang mau berbagi. sang bapak pemilik sumur pun senang-senang saja airnya diminta. ia juga tidak lantas memperhitungkan berapa rekening listrik yang harus dibayarnya. "sudah pake aja dulu, urusan listrik mah gampang lah," ujar si bapak dengan logat betawi yang kental. ibu-ibu pun sibuk mengatur giliran 'kemasukan' selang ke rumah masing-masing.
namun ditengah keguyuban seperti itu ada saja ulah 'oknum' yang merasa lebih berhak dan berkuasa atas air sumur itu. padahal si pemilik air saja tidak hirau dengan urusan itu. ia hanya berpikir semua harus kebagian air itu. alhasil, bagai kata ungkapan 'setetes air mengotori sesumur air'. kelihatanlah karakter asli masing-masing warga.
dan, seperti biasa, lagu lama berkumandang kembali: para petinggi saling mengeluarkan jari telunjuk bahwa ini adalah kesalahan pihak sana dan situ bukan kesalahan saya; bahwa ini adalah fenomena alam; bahwa ini adalah bla, bla, bla... alhamdulillah, banjir telah mulai surut meski sekarang diikuti dengan merebaknya dbd.
sementara di jakarta ’kelebihan’ air, depok malah kekurangan air bersih karena pipa pdam bogor diterjang banjir. jadilah ini ’bencana nasional’ bagi depok dan sekitarnya. bingung, resah, marah, kesal dan aneka perasaan tak enak bergabung menjadi satu. dan, yang langsung terkena dampak matinya air ini adalah para ibu. demikian eratnya hubungan kaum wanita dengan air ya. sudah terbayang pakaian kotor yang menumpuk, piring dan gelas bekas dipakai dan lain sebagainya.
di kompleks perumahan saya meski tidak terjadi kehebohan, matinya air jelas merepotkan. untungnya, alhamdulillah, kejadiannya hari minggu jadi bapak-bapak masih ikut berperanserta mencari solusi. tapi, pada akhirnya kaum ibu juga yang memegang peranan penting. hasil negosiasi dengan pemilik sumur yang mempunyai pompa listrik membuahkan hasil nyata. tahu-tahu selang plastik sambung-menyambung masuk ke dalam rumah.
alhamdulillah, di tengah-tengah kebingungan masih ada yang mau berbagi. sang bapak pemilik sumur pun senang-senang saja airnya diminta. ia juga tidak lantas memperhitungkan berapa rekening listrik yang harus dibayarnya. "sudah pake aja dulu, urusan listrik mah gampang lah," ujar si bapak dengan logat betawi yang kental. ibu-ibu pun sibuk mengatur giliran 'kemasukan' selang ke rumah masing-masing.
namun ditengah keguyuban seperti itu ada saja ulah 'oknum' yang merasa lebih berhak dan berkuasa atas air sumur itu. padahal si pemilik air saja tidak hirau dengan urusan itu. ia hanya berpikir semua harus kebagian air itu. alhasil, bagai kata ungkapan 'setetes air mengotori sesumur air'. kelihatanlah karakter asli masing-masing warga.