tujuh belas juli, satu sembilan sembilan enam. kegiatan berjalan seperti biasa. saya ngantor. istri di rumah. rutinitas harian. di kantor pun tak ada yang aneh-aneh. sampai saya kembali ke rumah, di malam hari, tak ada tanda-tanda istimewa. namun menjelang tengah malam, saya yang sudah tertidur di samping istri dibangunkan. sambil kucek-kucek mata saya bertanya ada apa. ternyata tempat tidur sudah basah. dalam hati, tak mungkin istri saya b.a.k di tempat tidur. istri bingung. saya juga. tapi sok cool aja, tenang biar semua tidak menjadi panik. jangan-jangan sudah waktunya, batin saya.
istri saya bangun dan menelepon ke rumah sakit minta dijemput. tak perlu repot bersiap-siap karena semua keperluan sudah dipak dalam satu tas besar. ambulans datang. saya duduk di belakang menemani istri. sesampainya di rsbi bunda segera ditangani. oh, ya, yang menjemput kami adalah bidan, awalnya kami sangka perawat biasa. tak ada deposit segalam macam. yang ada isteri saya kena marah. karena air yang keluar di tempat tidur tadi adalah air ketuban. duh, mana kami tahu, wong ini pengalaman pertama kok.
proses selanjutnya adalah menunggu, menunggu dan menunggu. dan itu saya lakukan sendirian sambil membaca buku doa (halah, kalau saat-saat gini baru dah berdoa :d) hingga malam berganti ke tanggal delapan belas belum ada tanda-tanda. bukaan masih sedikit. hingga subuh menjelang masih belum nampak juga. usai sholat subuh saya pamit ke rumah (pengin ngupi dulu :d. di rsb kan gak disediain kupi).
lagi asyik-asyiknya ngupi eh telepon berdering-dering. ternyata saya segera diminta kembali ke rsb. alhamdulillah dekat jaraknya dan karena masih pagi, saya sampai di rsbi tanpa halangan. sudah bukaan empat. wah, sebentar lagi dong nih. tapi harapan tinggal harapan. ditunggu-tunggu bukaan tak beranjak. sang bidan pun berkonsultasi dengan dokter. akhirnya isteri saya diinduksi. bukaan makin bertambah. tapi dokter belum datang juga. ditelepon berkali-kali belum datang juga.
rupanya sang dokter harus mengoperasi pasien di rsbia lain. akhirnya sang bidan bertanya gimana nih dokternya belum bisa datang sementara sang bayi sudah saatnya meninggalkan rahim. saya tanyakan apakah semua normal. bu bidan mengangguk. maka proses selanjutnya saya masuk ke kamar bersalin. menemani isteri yang sedang berjuang. ini pun prosesnya tidaklah mudah. ada dua perawat yang membantu. sementara saya bagian kompor-kompor-in plus ngambilin minum.
subhanalah. setelah berjuang sekuat tenaga dan biidznillah, pukul sembilan limapuluh waktu indonesia barat, delapan belas juli, satu sembilan sembilan enam, seorang bayi laki-laki lahir dari rahim ibunya: sesaat matanya membelalak dan langsung menangis. alhamdulillah. dan, namanya adalah nandana prabaswara. hari semakin siang, eyang putri pun datang. saya kembali ke rumah sambil membawa cendil berisi ari-ari. tanya sana dan sini bagaimana proses penguburan ari-ari.
sesampainya di rumah saya membeli keperluan proses ari-ari. subhanalah. ketika ari-ari saya keluarkan dari cendil sempat terkejut. memang sudah dibersihkan tapi belum bersih seratus persen. sambil menyebut asma-nya saya terus mencucinya. dan, kemudian menguburnya di halaman rumah...
kini, delapan belas juli dua ribu delapan, dua belas tahun sudah usianya. putih-biru sudah seragamnya. ke sekolah tak mau lagi diantar. penginnya pulang-pergi naik angkot saja. bahkan menyeberangi jalan pun inginnya sendiri. sementara kami masih khawatir. masih menganggapnya anak-anak.
mungkin kini saatnya sudah tiba nak. kami sadar engkaupun ingin mengepakkan sayapmu. memperluas wilayah jelajah wawasanmu. menambah jam terbang pergaulanmu. mengenal dunia lebih dalam lagi... kamipun tak bisa lagi berkata: tak boleh ini, tak boleh itu, melarang ini atau itu tanpa alasan yang jelas. terbanglah anakku karena kamipun tak ingin engkau tetap berada dibawah ketiak kami. jangkaulah keinginanmu namun tetaplah waspada dengan sekeliling. selalu ingatlah akan sang khalik karena hanya dialah tempat kita bergantung dan memohon segalanya.
selamat berhari jadi nanda...
istri saya bangun dan menelepon ke rumah sakit minta dijemput. tak perlu repot bersiap-siap karena semua keperluan sudah dipak dalam satu tas besar. ambulans datang. saya duduk di belakang menemani istri. sesampainya di rsbi bunda segera ditangani. oh, ya, yang menjemput kami adalah bidan, awalnya kami sangka perawat biasa. tak ada deposit segalam macam. yang ada isteri saya kena marah. karena air yang keluar di tempat tidur tadi adalah air ketuban. duh, mana kami tahu, wong ini pengalaman pertama kok.
proses selanjutnya adalah menunggu, menunggu dan menunggu. dan itu saya lakukan sendirian sambil membaca buku doa (halah, kalau saat-saat gini baru dah berdoa :d) hingga malam berganti ke tanggal delapan belas belum ada tanda-tanda. bukaan masih sedikit. hingga subuh menjelang masih belum nampak juga. usai sholat subuh saya pamit ke rumah (pengin ngupi dulu :d. di rsb kan gak disediain kupi).
lagi asyik-asyiknya ngupi eh telepon berdering-dering. ternyata saya segera diminta kembali ke rsb. alhamdulillah dekat jaraknya dan karena masih pagi, saya sampai di rsbi tanpa halangan. sudah bukaan empat. wah, sebentar lagi dong nih. tapi harapan tinggal harapan. ditunggu-tunggu bukaan tak beranjak. sang bidan pun berkonsultasi dengan dokter. akhirnya isteri saya diinduksi. bukaan makin bertambah. tapi dokter belum datang juga. ditelepon berkali-kali belum datang juga.
rupanya sang dokter harus mengoperasi pasien di rsbia lain. akhirnya sang bidan bertanya gimana nih dokternya belum bisa datang sementara sang bayi sudah saatnya meninggalkan rahim. saya tanyakan apakah semua normal. bu bidan mengangguk. maka proses selanjutnya saya masuk ke kamar bersalin. menemani isteri yang sedang berjuang. ini pun prosesnya tidaklah mudah. ada dua perawat yang membantu. sementara saya bagian kompor-kompor-in plus ngambilin minum.
subhanalah. setelah berjuang sekuat tenaga dan biidznillah, pukul sembilan limapuluh waktu indonesia barat, delapan belas juli, satu sembilan sembilan enam, seorang bayi laki-laki lahir dari rahim ibunya: sesaat matanya membelalak dan langsung menangis. alhamdulillah. dan, namanya adalah nandana prabaswara. hari semakin siang, eyang putri pun datang. saya kembali ke rumah sambil membawa cendil berisi ari-ari. tanya sana dan sini bagaimana proses penguburan ari-ari.
sesampainya di rumah saya membeli keperluan proses ari-ari. subhanalah. ketika ari-ari saya keluarkan dari cendil sempat terkejut. memang sudah dibersihkan tapi belum bersih seratus persen. sambil menyebut asma-nya saya terus mencucinya. dan, kemudian menguburnya di halaman rumah...
kini, delapan belas juli dua ribu delapan, dua belas tahun sudah usianya. putih-biru sudah seragamnya. ke sekolah tak mau lagi diantar. penginnya pulang-pergi naik angkot saja. bahkan menyeberangi jalan pun inginnya sendiri. sementara kami masih khawatir. masih menganggapnya anak-anak.
mungkin kini saatnya sudah tiba nak. kami sadar engkaupun ingin mengepakkan sayapmu. memperluas wilayah jelajah wawasanmu. menambah jam terbang pergaulanmu. mengenal dunia lebih dalam lagi... kamipun tak bisa lagi berkata: tak boleh ini, tak boleh itu, melarang ini atau itu tanpa alasan yang jelas. terbanglah anakku karena kamipun tak ingin engkau tetap berada dibawah ketiak kami. jangkaulah keinginanmu namun tetaplah waspada dengan sekeliling. selalu ingatlah akan sang khalik karena hanya dialah tempat kita bergantung dan memohon segalanya.
selamat berhari jadi nanda...