bila kita bertemu dengan seseorang yang tidak dikenal. entah kapan dan di mana, umumnya, lazimnya, timbul kecurigaan. 'ngapain sih ni orang?' atau 'sok akrab amat sih'. kadang kita juga meladeni orang asing itu dengan perasaan segan atau acuh-tak-acuh. padahal, sangat boleh jadi, gusti allah lah yang merancang pertemuan itu. ada maksud tertentu yang dituliskan gusti allah. seperti kumpulan kata berikut yang saya tulis ulang (secara dia yang bercerita namun dengan gaya tulisan saya tentunya :D) berdasarkan penuturan seorang teman...
wallahu awam bi shawab...
pulang pergi naik kendaraan umum adalah pilihan saya. karena murah dan meriah (*meski belum tentu sepenuhnya aman-danudoank :D) menemukan kejadian aneh juga bukan hal baru lagi. namun, bertemu dengan seorang lelaki tua dengan kelakuan lebih sekadar aneh baru saya alami kemarin.nah, bila lain kali kita bertemu dengan orang asing, ingat-ingatlah dia, karena kita tak pernah tahu di lain kesempatan orang yang suka berburuk-sangka-kan malah menolong kita dari situasi yang tidak menyenangkan. namun, tetaplah waspada. dan, mintalah selalu perlindungan dari gusti allah.
awalnya si bapak ini naik dari perhentian lampu merah. dilihat dari gayanya saja sudah mencurigakan. saya yang kebetulan duduk di bangku belakang rada khawatir juga. tapi ya sok tenang saja. tapi, makin lama kok kian bertambah aksi si bapak ini. di awal naik dia mengantongi tisyu, korek api dan barang lain milik kondektur tanpa diketahui pemiliknya tentunya.
saat itu, kebetulan ada pengasong buku agama. si bapak pun berkomentar miring. 'gak bakalan laku lu jualan buku gitu. entar kalo dunia udah dibalik baru pada percaya,' ujarnya. 'udah gak ada yang percaya sama gituan. bentar lagi jakarta ni ada gempa,' ceracaunya lagi.
waduh, pikir saya dalam hati, salah milih tempat nih. tapi, kursi yang kosong saat saya naik ya di bagian paling belakang. ini pun sudah menanti lumayan lama, agar tak terlalu larut sampai di rumah, metro mini ini jadi pilihan.
saat metro mini berjalan si bapak mengulurkan tangannya kepada saya. jelas bukan untuk bersalaman. tapi untuk meminta uang. saya hanya menggelengkan kepala. namun tangannya tak lantas ditarik. saya bergeming. lantas si bapak meminta pada penumpang lain yang juga menggoyangkan tangan. tangan itu kembali kepada saya. gelengan kepala jawaban atas tangan itu kembali saya lakukan.
si bapak lalu ngomong sendiri alias ngedumel: 'ah, minta duit aja gak dikasih. palingan berapa sih.' saya tak ambil peduli. sementara penumpang di sebelah kanan saya, kok jadi menelungkupkan kepala seperti hendak tidur, padahal waktu saya naik jelas-jelas kelihatan segar. ah, entahlah. si bapak yang terus 'monolog' tiba-tiba menoleh ke penumpang sebelah saya. dan, ternyata mereka saling kenal. duh gusti allah, dalam hati, bakalan ada apa lagi nih. mereka pun bercakap-cakap akrab.
selesai berdialog, eh, si bapak pindah lagi ke dekat saya sambil menyuruh saya menggeser tempat duduk. 'sanaan lu,' katanya. lagi, si bapak, mengulurkan tangannya. saya pun menggelengkan kepala lagi. kali ini rupanya ia mulai kesal dengan penolakan saya. tangannya seperti hendak mengambil sesuatu dari pinggangnya. dalam hati, ah, palingan gertak sambal. sambil memasukkan tangan ke bajunya si bapak pun ngomong lagi: 'mau apa sih lu. ayo bareng-bareng sama gua masuk cipinang. gua gak takut.' wah, mulai gawat nih. masih sempat mikir juga, urusan mati dan hidup kan ada pada gusti allah semata, dan mulai berdzikir. tapi saya teteup sok kewl.
'kenapa sih lu?' tanyanya. 'diajak ngomong diem aja,' imbuhnya. saya menjawab kepala lagi pusing. 'oh, sakit ya,' suaranya merendah. tangannya pun ditarik dari bajunya. alhamdulillah, aman nih, mbatin saya. namun dalam hati teteup deg-deg-an juga sih. eh, si bapak sebelah saya sempat mentoel-toel bahu, tapi saya tak begitu memperhatikan. sampai di sebuah halte, bapak sebelah ini turun, masih setengah perjalanan saya sebenarnya. tapi saya memutuskan untuk turun. ketika turun si bapak (yang suka berceracau) malah memegang pundak saya dan katanya ati-ati pak.
setelah turun, alhamdulillah wa syukurillah. saya lantas ngomong-ngomong dengan penumpang sebelah ini. 'bapak turun di sini, kan masih jauh,' ujarnya. iya pak daripada kenapa-kenapa mendingan saya turun aja, jawab saya. dan, subhanallah, saya ingat pernah bertemu dengan bapak ini di metro mini dalam perjalanan pulang. saat itu si ia bercerita bertapa susahnya berdagang. modal ga banyak. untungnya juga gak seberapa dan lakunya sedikit. saya hanya mengiyakan ceritanya dan sesekali menambahkan. 'bapak kan yang dagang sandal jepit itu ya,' tanya saya. 'loh, bapak ko tau,' jawabnya agak kaget. 'kan kita pernah ketemu dulu,' imbuh saya. masih dagang pak, tambah saya. 'masih pak, alhamdulillah, ujarnya lagi.
'emang yang tadi siapa pak, tanya saya. sambil setengah tertawa: 'dia mah pak ya kondektur, tukang totok juga, mabok iya (copet, todong). pernah sama-sama di cipinang sama saya. ini kalo mau liat bekas goresan piso. cuman saya mah gak bertato pak.' oh, gitu, ujar saya lumayan kaget. 'beneran dia bawa piso pak?' tanya saya lagi. 'bukan piso pak, clurit kecil yang dibawa, jawabnya. naudzubillah. sebentar ngomong kamipun berpisah. si bapak sempat mengajak ke rumah untuk berkenalan dengan mertuanya yang masih aktif berdinas di tni-ad.
kalau saya tak bertemu dengan si penjual sandal dan mengambil keputusan untuk turun, entahlah apa jadinya. namun alhamdulillah wa syukurillah. gusti allah lewat si bapak mengingatkan saya untuk memutuskan 'hijrah' dari situasi yang tidak mengenakkan itu. dalam hati setelah naik metro mini lagi untuk meneruskan perjalanan, saya berpikir, sekecil apapun clurit tetap saja ia senjata tajam yang bisa mematikan. dan, meski ajal gusti allah yang menentukan, kalau memang masih dapat menghindar apa salahnya. peduli amat orang bilang pengecut atau penakut...
wallahu awam bi shawab...