Dari sebuah artikel di majalah Nirmala, saya bisa lebih memahami cara kerja kunyit dalam menyembuhkan radang amandel. Ternyata benar, semuanya berasal dari ampas makanan dan timbunan lendir di tenggorokan. Ramuan kunyit bekerja membersihkan ‘sampah-sampah’ yang menempel di dinding tenggorokan dan usus. Pantas saja, setiap kali saya harus menyiapkan wadah muntah bagi Nanda. Setelah diberi ramuan kunyit, tak lama Nanda akan memuntahkan lendir berwarna putih yang seperti ludah basi atau ingus. Proses itu bisa berlangsung seharian.
Awalnya makanan yang diberikan ikut dimuntahkan bersama lendir itu. Tapi tetap saja makanan dan minuman harus diberikan sedikit-sedikit. Juga ramuan kunyitnya. Supaya anak punya energi dan tidak dehidrasi. Secara bertahap, ia kemudian hanya akan memuntahkan sisa-sisa lendir saja, tidak disertai makanannya. Dan kemajuan yang paling penting adalah ketika ia bisa buang air besar. Di sini racun-racun dalam usus yang dibersihkan oleh ramuan kunyit itu terbawa keluar. Sehingga pernah saya perhatikan bahwa kotorannya berwarna kehitaman. Entah camilan junk-food mana yang membawa racun seperti itu di usus. Setelah proses ini, hanya berselang sehari insya Allah Nanda akan pulih kembali.
Faktor keempat, adalah informasi. Sebagai ibu (atau siapapun orang terdekat yang merawat dan mengurus anak) kita harus well informed. Bahkan amandel membengkak sebenarnya bukan hanya disebabkan radang tenggorokan seperti yang diderita Nanda selama ini, tapi bisa juga karena gondongan atau infeksi telinga (atau mungkin jenis penyakit lain, yang informasinya belum saya ketahui). Perbedaan pada gejalanya pun kadang tipis saja, misalnya pada gejala DBD atau tifus. Walaupun agak enggan ke dokter, tapi selama ini setiap kali Nanda demam, saya selalu bersiap-siap pada kemungkinan untuk membawanya ke RS. Soal melek informasi ini saya punya contoh terbaru yang paling tepat.
Kemarin sehabis dari Bodogol (ceritanya ada di sini dan di sini juga), kami sekeluarga langsung mampir ke Megamendung, menginap di sebuah hotel di sana (taela, kapan lagi nginep di hotel dengan diskon 50 persen?) Pasalnya, esok harinya, Minggu 20 Agustus, RT kami akan merayakan 17 Agustus-an di hotel tersebut (Anda tidak salah baca, memang demikian halnya… dan percaya deh, di sana bukan cuma RT kami yang merayakan 17 Agustusan, tapi ada banyak RT lainnya dari pelosok Jakarta. Pantesan wilayah Puncak macet hingga 7 jam) Nah, sampai di hotel jam empat sore, Nanda langsung ikut temannya nyemplung ke kolam renang hingga menjelang maghrib. Esok paginya, Nanda dan temannya cibang-cibung lagi di kolam hingga dua jam. Siangnya setelah acara rame-rame, nyebur lagi dua jam lagi. Nggak ada capenya tuh anak-anak.
Sepanjang pekan berikutnya, selain acara belajar di kelas, Nanda juga harus ikut program jogging (Rabu dan Jum’at siang) di sekolah dan berenang hari Kamisnya. Hari Sabtu temannya mengajak main seharian dan hari Minggu kami mengajak Nanda kondangan ke acara sunatan. Seingat saya, pekan lalu itu asupan sayur dan buah Nanda termasuk cukup, tapi konsumsi junk-foodnya waktu snack siang di sekolah —juga esnya waktu kondangan— agak berlebihan. Selain itu, belum pernah dia istirahat saja secara full di rumah. Akibatnya, Selasa kemarin (29 Agustus) Nanda ambruk kena demam tinggi lagi.
Saya sudah menjalankan prosedur tetap, yaitu memijat dan mengeroki-nya. Pada beberapa kasus akibat kelelahan, cara ini biasanya mujarab. Panasnya akan langsung turun. Tapi kali ini tidak. Saya sudah membaluri perut dan punggungnya dengan parutan bawang merah, dicampur minyak goreng dan minyak kayu putih. Dia berkeringat sebentar, tapi kemudian panasnya naik lagi. Dia juga segera mengeluh lehernya sakit, dan saya pun memberinya ramuan kunyit. Tapi aneh, kali ini Nanda tidak langsung membaik Ada apa gerangan?
Pada hari keempat, Bu Susilo, tetangga sebelah, membesuk sambil membawa buah-buahan. Ia bertanya Nanda sudah diobati apa saja. Saya katakan tentang ramuan kunyit itu. “Berapa banyak?” dia bertanya menyelidik. Saya bilang seperti takaran yang sudah-sudah. Yaitu sesendok kecil, sedikit-sedikit tapi sering. “Waaah, kurang itu. Faisal saya kasih ramuan setengah gelas. Kunyitnya yang biang itu lho. Ada dua kilo saya parut waktu itu. Sekarang amandelnya sudah sangat mengecil. Nggak pernah ngadat lagi.” Alhamdulillah. Baru ‘ngeh’ saya. Rupanya dosis yang saya berikan selama ini dosis tempo doeloe, waktu Nanda masih balita. Sekali dia muntah, ramuan kunyit nya pun sirna. Asyik juga, ya, punya tetangga yang memiliki kesamaan orientasi di bidang pengobatan alternatif, yaitu herba.
Segera saya ubah dosis ramuan kunyit-nya. Saya ke pasar, memborong kunyit biang dan jeruk nipis. Untung Ayahnya Nanda rutin membeli madu alam
Di era informasi ini, para ibu sungguh beruntung karena informasi masalah kesehatan berlimpah di media massa elektronik atau media cetak. Apalagi jaman berjangkitnya mass disease seperti sekarang ini —SARS, polio, PMK, flu burung— masya Allah, kita tak boleh lengah. Namun, seperti halnya pengalaman saya, jangan pernah sepelekan info dari pengalaman empiris, yaitu pengalaman kenalan atau tetangga. Ternyata sangat besar gunanya. Saya harap Anda juga bisa memetik sesuatu dari pengalaman saya ini.
Dan satu faktor kunci lagi yang justru harus dijauhi, yaitu sikap menggampangkan dan tidak peduli. “Susah-susah amat, operasi saja, beres kan?”, “Udah, ke dukun aja,”, “Ngurus anak satu saja repot, kita aja yang anaknya banyak cuek aja,”,” “Anak-anak sih dibebasin aja, mau ngapain kek, mau makan apa kek. Selain nggak kuper, badannya jadi kuat, tau.”, “Anak sakit kok nggak dibawa ke dokter, kalo ada apa-apa, baru tau rasa.”, “Anak saya sih sakit bisa ditinggal. Minum obat sendiri juga bisa. Suruh pembantu aja ngingetin.” Ucapan-ucapan seperti itu, yang sering saya dengar selama ini, selain menorehkan sebersit rasa pedih di hati, juga mendorong saya untuk memberi jawaban tegas atas pilihan sikap yang saya tempuh selama ini.
Beruntunglah mereka yang anaknya tidak menderita radang amandel seperti Nanda, karena tak akan direpotkan oleh masalah pengaturan makan seperti saya. Namun masalahnya yang mendasar adalah, pengaturan makan memang perlu. Anak-anak seharusnya memang diajak lebih mencintai makanan sehat ketimbang camilan sampah. Kita tidak bicara untuk akibatnya pada masa ini, tapi pada puluhan tahun mendatang dalam hidup mereka, di mana jika tak punya kesadaran tentang pola makan yang baik sejak dini, akan berdampak buruk bagi kesehatan. Ini berlaku bagi semua anak, tidak hanya yang menderita amandel.
Kedua, di masyarakat kita, kalangan medis memang memiliki otoritas tertinggi di bidang kesehatan. Tapi seperti pengalaman saya, ada begitu banyak pilihan solusi, dan ambil yang terbaik menurut kita. Dan seyogyanyalah —mengutip pendapat Andang Gunawan yang saya hormati— dokter itu bersikap sebagaimana makna dari nama profesinya yaitu doctor (dari Yunani: docere, artinya mengajarkan sesuatu). Jadi sudah bukan masanya dokter enggan berbincang dengan pasiennya tentang solusi dari penyakitnya, dan hanya sekedar jadi agen pengecer obat lewat penulisan resep. Dokter Lusi di kompleks saya adalah contoh dokter yang ramah, santun dan telaten terhadap pasiennya.
Ketiga, apa salahnya jika seorang Ibu memberi perhatian penuh pada anaknya? Apakah ada klaim bahwa hal itu kelak membuatnya jadi anak Mami, tidak mandiri atau manja? Saya rasa perkembangan kepribadian anak terbentuk melalui beberapa tahapan dan proses. Jika di usianya sekarang Nanda saya biarkan saja, toh ia akan berusaha mencari sosok lain tempat ia menyandarkan diri atau meminta bantuan dan perhatian. Pada beberapa kasus, saya lihat anak yang kata ibunya mandiri ternyata banyak mendapat bantuan dari pembantu rumah tangganya. Yang jelas saat ini saya tidak bisa lari dari tanggung jawab saya sebagai ibu, dan ada saatnya nanti saya akan memberi tambahan beban tanggung jawab pada Nanda dan memintanya lebih aktif mengurus dirinya sendiri.
Well, sebelum tulisan ini jadi terlalu emosional, sebaiknya saya tutup saja ya ceritanya. Dan sebenarnya, di atas semua faktor yang saya sebutkan tadi, ada satu faktor yang paling mutlak dan maha penting yaitu rahmat dan perlindungan Allah swt. Tanpa hal itu, entah bagaimana kita akan menjalani hidup ini. Subhanallah wal hamdu lillah wa la ila ha ilallahu allahu akbar! Wassalam. (Bunda Nanda).