Assalamu'alaikum semuanya...
Perkenalkan, saya bundanya Nanda. Setelah sekian lama, akhirnya saya nggak tahan juga pengen ikut mejeng di blog ini. Bukan apa-apa, soalnya kalo mau bikin cerita tentang Nanda atawa sekolahannya tuh sebenarnya yang punya stok seabrek adalah saya, bukan bapaknya. Dari cerita yang lucu, mengharukan, menjengkelkan sampe yang tragis-ironis juga ada (iya apa iya, ah, kaya sinetron ajaaa..)
Cerita saya ini sesungguhnya adalah bentuk rasa syukur dari kami sekeluarga, seperti bunyi perintah pada ayat terakhir Surah Ad-Dhuha “Wa ‘amma bi ni’mati robbika fa haddist,” Dan jika mendapat nikmat, sering-seringlah menyebutnya.
Namun menginjak usia TK, di mana kegiatan hariannya mulai cukup melelahkan, frekuensi Nanda terserang panas mulai meningkat. Pernah baru sembuh setelah seminggu sakit panas, eh minggu depannya sakit lagi. Kami sekeluarga jadi mengalami rutinitas yang merepotkan, karena di Depok pada tahun 2000 lalu, dokter anak yang ‘stand by’ pagi-pagi sekali cuma dokter Kemal, yang berpraktek di rumahnya di Pesona Kahyangan. Kalau diingat, dulu Ayahnya Nanda sebelum ke kantor seringkali mesti mengantar kami ke dokter Kemal dulu, dan mengantre dari pukul 06.00 sampai sekitar sejam berikutnya.
Secara fisik, Nanda terlihat sehat-sehat saja. Grafik di KMS-nya juga meningkat terus. Sayang ia punya reputasi sakit-sakitan alias langganan periksa ke dokter.Yang bikin saya penasaran kala itu, kenapa anak-anak seusia Nanda lainnya yang saya temui jarang yang mengalami sakit panas seperti itu. Sering kali saya melihat anak-anak balita yang —maaf— hidungnya meler dan batuk-batuk tapi tetap saja ceria makan es krim kegemarannya. Nanda kena es sedikit, wah, bisa langsung panas. Satu ketika saya menuruti saran orang-orang agar ‘cuek’ saja mengenai makanan anak —itu lho makan jajanan warungan yang serba crispy dan permen yang warnanya meriah— Hasilnya, ya, seminggu Nanda tergeletak karena demam tinggi.
Titik terang mulai tampak ketika suatu kali dokter Kemal berkata bahwa amandel Nanda bermasalah dan harus dioperasi. Amandelnya yang gampang membengkak itu yang jadi penyebab ia terserang demam tinggi. Ketika kami bawa Nanda ke dokter lain, opininya juga sama, bahwa amandel itu harus segera dioperasi. Saat itu saya jadi berpikir: “Sepertinya bagi para dokter mudah saja ya, ini bermasalah, itu bermasalah, operasi saja, potong saja…“
Masalahnya, kami berdua yang notabene adalah orangtua baru yang miskin pengalaman, masih merasakan ‘miris’nya hati ketika menyerahkan Nanda yang baru berusia dua bulan kepada perawat untuk dibawa ke ruang operasi.
Ya, benar, ketika usia dua bulan Nanda harus dioperasi, karena menderita hernia (ususnya terjepit pada rongga antara daerah kelamin dan perut yang belum menutup sempurna). Untuk info tambahan, dokter yang menangani operasi hernia itu cukup kreatif dengan menawarkan pada kami agar Nanda sekalian saja disunat. Alasannya, karena kuatir Nanda kena fimosis (infeksi karena kotoran yang menempel pada kulit di ujung kelamin). Alhasil, di usianya sekarang ini Nanda sering melontarkan pertanyaan seperti: “Sunat itu sakit nggak sih?” , atau,” Kenapa sih kalau sunat harus dirayakan?”, “Kok aku disunatnya waktu kecil sih, nggak kayak teman-teman yang lain….” . Kami sering tersenyum dan menggodanya,” Nanda, kaciaaan deh kamu…”
Setelah menguatkan tekad bersama untuk tidak mengoperasi amandel Nanda, kami pun berburu berbagai solusi alternatif untuk menaklukkan si organ yang bandel itu. Berbagai literatur di majalah, koran, buku dan internet kami buru untuk mencari terapi yang paling cocok. Awalnya kami sempat mengikuti saran untuk membawa Nanda ke ahli pijat akupresur langganan kantor Ayahnya. Sayangnya kantor Ayahnya jauh dari rumah, dan kalau sudah dipijat Nanda memang segar, tapi besoknya kecapekan lagi. Apalagi setelah si ahli pijat tidak bisa lagi ditemui di Tebet, melainkan di rumahnya di Bintaro pada hari Sabtu. Muacetnya itu, ampyuuun. Wah, pulangnya Nanda yang baru sakit, bisa sakit lagi.
Terbetik pula info bahwa dekat daerah kami ada orang yang bisa menyembuhkan amandel tanpa harus operasi. Caranya dengan doa-doa, kemudian bagian yang sakit ditempeli telur, dan ‘hup!’ amandel yang bengkak pun menghilang ke dalam telur. Kalau telur itu dipecahkan, konon tampak benjolan daging segar yang tercerabut…. Tapi ada seorang ibu bercerita pada saya, bahwa kerabatnya yang pernah menjalani operasi itu di lain waktu kembali lagi menderita radang amandel. Wallahu a’lam bissawab.
Sekali waktu, kami membaca di majalah Nirmala tentang obat Homeopathy yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mencegah amandel meradang. Info yang menarik itu segera kami respon, hingga kami sampai ke tempat pembuatannya di Permata Hijau. Klinik homeopati itu dikelola oleh sekelompok relawan dari aliran Ahmadiyah. Walaupun ada perbedaan pandangan keagamaan, kami dapat merasakan ketulusan para relawan itu. Ketika kami tanya berapa harga obat amandel itu, Subhanallah, mereka menjawab,” Terserah Ibu dan Bapak saja, kami terima seikhlasnya…..” Obat homeopati yang kami peroleh terbukti manjur, karena setelah beberapa kali dikonsumsi ketika Nanda demam tinggi, sekitar dua hari kemudian ia pun segar kembali.
Terus terang, yang agak repot dalam hal obat homeopati ini adalah penanganannya. Obatnya yang kecil-kecil seperti merica berwarna putih salju itu sangatlah sensitif. Tangan kita tak boleh berbau yang menyengat —seperti sabun, minyak kayu putih atau parfum— ataupun berkeringat saat memegangnya. Menyimpannya juga harus hati-hati. Sebelum dan sesudah mengonsumsi obat itu —untuk anak-anak sekitar 10 menit lah— si penderita harus puasa. Jadi bau mulut pun harus alamiah. Sikat gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi obat dilarang keras. Belum lagi waktu pemberian yang bisa beberapa jam sekali. Akan sangat merepotkan jika harus berbenturan dengan jadwal padat sehari-hari.
Sebagaimana anak-anak, Nanda senang sekali dengan obat homeopati yang memiliki rasa manis itu. “Ibu, lagi dong permen cicak-nya,” sering dia berkata. Lho, obat kok disamakan dengan permen. Tapi akhirnya, ada saatnya saya beralih ke pengobatan lain ketika suatu kali Nanda sakit panas (lagi) sementara Ayahnya sedang sibuk dengan pekerjaan kantor, padahal persediaan obat homeopati sudah habis. Mau ke dokter, kok sayang ya. Saya pasti ‘dimarahi’ dokter kalau mereka tahu saya membiarkan saja amandel anak meradang. Kenapa tidak dioperasi saja, kira-kira begitu komentar mereka.